liputankepri.com,Selatpanjang.-Selamat malam, Pak Bupati! Mohon izin! Saya mendapat informasi dari orang dekat bahwa Pak Bupati sering bangun pada malam hari (mohon maaf kalau salah). Katanya lagi, Pak Bupati kerap membaca, merenung dan memikirkan berbagai macam hal : Mulai dari permasalahan bangsa yang kian hari kian jelimet dan ruwet, termasuk permasalahan pembangunan yang ada di Kabupaten Meranti ini : Daerah yang bapak pimpin dan rancang untuk menjadi kawasan niaga yang maju dan unggul, sebagaimana yang bapak tawarkan melalui visi-misi selama kampanye berlangsung.
Oleh : Agusyanto Bakar, SSos.,MSi
Berdomosili di Kabupaten Meranti
Oleh karena itu, saya alamatkan surat ini kepada bapak yang ”mengakrabi malam”. Saya pun menulisnya dalam larut, setelah pulang mendampingi bapak dalam acara Rakornas TPID VIII 2017 di Jakarta yang oleh presiden Joko Widodo di buka secara resmi. Ternyata pointer-pointer yang di sampaikan Presiden pada acara tersebut, berbanding lurus dengan yang telah Pak Bupati lakukan di Kabupaten Meranti ini.
Terlepas dari itu, pertanyaannya adalah, kenapa harus malam? Secara vertikal, malam adalah waktu untuk meraih limpahan karunia Allah. Karena kegelapan malam adalah suatu sirr (rahasia) untuk membuka dan mengungkap kegelapan batin di bawah pancaran rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan secara horizontal, seperti yang selama ini bapak lakukan, malam adalah waktu yang sangat tepat untuk menenangkan hati dan fikiran sembari merenungi. Meskipun gelap dan sangat menakutkan, namun suasananya yang sangat tenang dapat membuka fikiran untuk melahirkan ide-gagasan yang bernas, terutama dalam mengakselerasi pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Meranti ini.
Bahkan orang bijak mengatakan, malam merupakan pendamping untuk menemani kita agar dapat tampil menjadi orang yang berguna bagi semuanya, karena dalam malam ada ruang upaya lebih serius untuk melakukan introspeksi diri.
Pak Bupati yth, sebelumnya perlu bapak ketahui bahwa pada Pilkada serentak Tahun 2015 lalu, Saya adalah salah seorang warga Kabupaten Meranti yang memilih bapak. Saya bukanlah seorang intelektual, Saya hanyalah warga biasa yang berusaha sekuat kemampuan yang Saya miliki agar bisa lulus menjadi manusia : Cita-cita Saya hanya itu. Akan tetapi, sebagai orang yang merasa diri sok-sok intelektual (GR), tentu saja Saya tidak sembarangan dalam memilih. Sebelum menentukan pilihan, Saya merasa wajib untuk melakukan ”riset kecil-kecilan” : Mulai dari menelusuri kehidupan masa kecil hingga perilaku paling mutakhir para calon bupati/wakil bupati saat itu. Riset subjektif yang Saya lakukan, tentu tidak sama dan tidak seakurat survei yang dilakukan oleh Poolmark Research Center (PRC) lebih kurang enam bulan lalu yang menempatkan bapak pada posisi yang cukup menggembirakan : 8,8 persen (dikenal) dan 5,8 persen (disuka). Surevi PRC ini pula yang di jadikan referensi oleh DPP-PAN untuk mendorong bapak maju dalam Pilguri 2018 mendatang.
Tapi yang jelas pasca melakukan ”riset kecil-kecilan”, pilihan Saya jatuh kepada bapak karena pada waktu itu bapak Saya pandang bagaikan air yang dalam pandangan tradisi Melayu mengatakan, bahwa pemimpin piawai itu di pandang bagaikan air : “Air yang di hulunya jernih akan membuat air dihilirnya juga akan menjadi jernih”. Kalaupun ada suara-suara sumir menyangkut kepemimpinan Pak Bupati, terlebih rencana pencalonan sebagai Gubri 2018 hingga Pak Bupati harus mengilustrasikannya seperti senepak, ah biarkan saja, toh : “Anjing menggonggong kafilah-pun tetap berlalu”. Sebab, Pak Bupati memang memenuhi kualifikasi untuk memimpin Riau kedepan : Berpengalaman di Pemerintahan sebagai birokrat dan dalam dunia politik, dua priode menjadi Bupati Meranti hingga kini dan tercatat sebagai ketua DPW PAN Riau. Ini fakta politik yang tak terbantahkan dan ini tidak ada korelasinya dengan strategi cari muka.
Pak Bupati yth, itulah imajinasi Saya tentang bapak. Barangkali tidak ada yang salah dengan kepemimpinan Pak Bupati. Akan tetapi, kekuasaan dalam sejarah perpolitikan bangsa manapun, memang memiliki karakter pengisap dan barangsiapa yang tidak mampu menaklukkannya, ia akan tersedot hingga ke rangka. Karena kekuasaan itu pada satu sisi mempunyai kecenderungan alamiah dalam memelesetkan para pemegangnya. Namun pada sisi lainnya, secara alamiah pula manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berkuasa Bahkan menurut Hans Morgenthau tokoh pemikiran realis yang seringkali disebut-sebut sebagai “the Pope of international relations”, mengatakan secara alamiah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berkuasa. Kecenderungan tersebut didasari pada suatu keinginan untuk selalu hidup tenang, tentram, dan damai. Kehidupan seperti itu hanya bisa didapatkan bila manusia memiliki kekuasaan yang besar, sebab kekuasaan yang besar akan menjamin seorang manusia untuk bertahan dari pengaruh dan kekuasaan manusia yang lain. Bahkan berbicara tentang kekuasaan, kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan : Power tends to corrupct! Karena seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang menerpanya.
Pak Bupati yth, mohon maaf kalau Saya di pandang lancang. Tapi melalui surat terbuka ini Saya sampaikan, karena Saya tidak ingin Pak Bupati menjadi “Garuda yang Terbang Sendiri”, meminjam judul drama Sanoesi Pane dalam Asep Iwan Saidi. Akibatnya, Pak Bupati tidak bisa kembali hinggap pada tahta kuasa yang notabene telah mengisap Pak Bupati secara terus-menerus hingga sayap Pak Bupati menjadi patah. Saya yakin hal ini pastilah menjadi kekhawatiran Pak Bupati. Terlebih lagi, bila informasi yang Saya terima sebagaimana di paparkan di awal tulisan ini benar, di sadari atau tidak, hal ini juga menjadi bagian yang membuat Pak Bupati selalu terjaga saat larut : Wallahu’allam. Tapi yang jelas, bila bapak bukan seorang Bupati, barangkali sepanjang hari bapak akan tampak lusuh layaknya sikap orang tua yang sudah terlalu capek dan pusing memikirkan ulah “anak-anak”nya yang terlalu nakal, hingga orang tuanya yang terbawa-bawa dan menanggung akibatnya. Dalam konteks ini, Pak Bupati seperti di khianati : Menjadi sandera atas ulah “anak-anak”nya yang nakal.
Oleh karenanya, waspadalah selalu Pak Bupati, karena bapak sedang terus-menerus untuk coba di khianati. Hati-hati dengan mulut manis tapi berbisa. Karena adigium politik yang mengatakan tidak ada yang abadi dalam politik, kecuali hanya kepentingan yang abadi, sejatinya rumusan tersebut juga berlaku dalam dunia birokrasi dan Saya yakin Pak Bupati sudah amat sangat memahaminya. Apa lagi, di tahun-tahun politik menjelang Pilgubri 2018 yang Pak Bupati berencana menjadi salah satu calon di dalamnya. Pelaksanaan Pilkada serentak Tahun 2015 lalu, kiranya dapat di jadikan contoh untuk lebih waspada. Dengan demikian, karena Pak Bupati sudah mampu mengakrabi malam, itu artinya Pak Bupati mampu untuk menjemput fajar saat semua makhluk sedang terlelap tidur. Inilah saatnya Pak Bupati untuk, meminjam sajak Chairil Anwar : “meradang” dan “menerjang”, agar Pak Bupati dapat tampil seperti garuda yang tangguh atas apapun yang bernama kuasa, atas apapun yang bernama mulut manis tapi berbisa, maka Pak Bupati akan menjadi seperti Arok Sang Pembangun, kata Asep Iwan Saidi dan seperti air, simbolisasi pemimpin yang piawai dalam tradisi Melayu, agar imajinasi Saya tentang bapak benar adanya. Mohon izin Pak Bupati, permisi!
Sumber :Riaupotenza