LIPUTANKEPRI.COM,KARIMUN–Seorang warga Bati, RT 002/RW 003, Pamak, Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, Fahrita Hasnum (63 tahun) meminta bantuan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk memulangkan anaknya, HH yang diduga menjadi korban perdagangan wanita atau “trafficking” di Malaysia.
“Saya bingung mau minta bantuan kemana, hingga akhirnya saya menyurati anggota DPD dari Provinsi Kepri, Pak Djasarmen Purba, saya dengar dia suka membantu orang. Kasihan anak saya terkatung-katung di Malaysia,” kata Fahrita di Tanjung Balai Karimun, Senin.
Fahrita mengatakan, anaknya HH (37) tak bisa pulang karena paspornya ditahan majikannya, dan saat ini dia melarikan diri dari agen 1JFS yang mempekerjakannya di negeri jiran. Selama dalam pelarian, dia dibantu teman-temannya sesama TKI untuk kebutuhan makan sehari-hari .
“Mau buat SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) anak saya itu tidak punya biaya,” katanya.
Dia menceritakan asal mula anaknya bekerja di Malaysia berawal dari bujukan A, seorang agen TKI ilegal di Tanjung Balai Karimun pada November 2017 silam. Anaknya diperkenalkan oleh temannya I kepada A yang menawarkannya pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia.
Karena sering dibujuk, HH akhirnya menerima tawaran A tersebut, dan selanjutnya A membuatkannya paspor wisata di Selatpanjang, Kepulauan Meranti, Riau.
“Anak saya diberangkatkan ke Malaysia pada 9 Desember 2017, dan dijemput agen 1JFS di Johor,” tuturnya.
Selama di Johor, tutur dia, anaknya berganti-ganti majikan sampai lima kali dalam sebulan dan tanpa gaji. Selain menjadi pembantu rumah tangga, anaknya juga pernah dipekerjakan di warung makan atau kedai kopi.
“Dia juga pernah diculik dan ditangani polisi di Malaysia, tapi setelah itu dia kembali bekerja melalui agen 1JFS. Karena paspornya ditahan majikannya terdahulu, dia disuruh direktur 1JFS yang bernama, LS lari ke Pulau Pinang dan dijanjikan akan dibuatkan paspor baru di KJRI Johor,” tuturnya.
Namun, janji tersebut tak kunjung ditepati dan justru dia kembali dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di Johor.
“Gajinya hanya lancar lima bulan, Januari sampai Juni 2018, setelah itu dipekerjakan di kantor 1JFS dengan janji dibuatkan paspor tanpa dipungut biaya. Tapi nyatanya selama bekerja, gajinya tidak jelas, bahkan sering dipotong bahkan kadang tidak digaji,” katanya.
Karena tidak tahan, anaknya itu melaporkan perlakuan yang dialaminya kepada polisi Malaysia dan KJRI Johor namun sampai saat ini belum ada titik terang dari laporannya itu.
“Dia akhirnya mengurus SPLP di KJRI, tapi terbentur biaya sebesar 16 ringgit Malaysia dan denda 2.000 ringgit Malaysia,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, pendamping kasus HH, Romesko Purba yang juga Ketua Seksi Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Kevikepan Utara, Keuskupan Pangkal Pinang mengatakan, HH diduga menjadi korban pengiriman TKI secara ilegal oleh A.
A, kata dia, diduga sudah banyak kali melakukan kejahatan yang sama dan pernah dilaporkan kepada Kepolisian Sektor Meral, Kabupaten Karimun pada 2018.
“Saya melaporkan A ke Polsek karena diduga menipu warga, dan diduga warga itu dijadikan wanita pekerja seks komersial. Karena korban saat itu masih diproses di Malaysia, kasusnya terhenti karena tidak korban yang melapor,” katanya.
Dia mengatakan akan melaporkan kembali A kepada polisi sepulangnya HH dari Malaysia karena diduga telah melakukan tindak pidana perdagangan wanita.
Sementara itu, anggota DPD Djasarmen Purba berjanji dalam waktu dekat akan memulangkan HH dari Malaysia.
“Surat dari ibunya memang benar sudah saya terima. Saya prihatin dengan kejadian ini, dan saya akan berupaya mengurus kepulangan HH di kedutaan dan konsulat kita di Malaysia,” kata Djasarmen.
Dia juga mendesak kepada Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia, atau KJRI Johor untuk aktif mempercepat kepulangan HH ke Indonesia.
“Kami akan surati KJRI Johor terkait permasalahan ini, sehingga HH bisa pulang secepatnya,” kata dia.