NTT |Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) telah ‘membabtis’ lahan otoritatif seluas 400 hektar dalam area hutan Bowosie yang ‘dikelolanya’, dengan sebutan ‘Parapuar’. Ungkapan itu, tentu saja berasal dari dua kata Bahasa Manggarai, yaitu para dan puar. Para berarti pintu sedangkan puar berarti hutan. Itu berarti Parapuar berarti ‘pintu hutan’.
Bolej jadi, melalui sebutan itu, BPOLBF hendak ‘membuat dan membuka pintu’ bagi para investor untuk berbisnis usaha wisata di kawasan itu. Ketika ‘pintu hutan’ dibuka, maka para pemilik modal dengan bebas berinvestasi di tempat itu. Rasanya, tidak mungkin menjalankan aktivitas investasi tanpa ‘menghancurkan hutan’.
Karena itu, konsekuensinya adalah puar atau hutan Bowosie itu mesti ‘dialihfungsi’ menjadi kawasan bisnis yang berkedok penciptaan destinasi wisata buatan. BPOLBF mengklaim bahwa proses ‘alihfungsi’ itu sudah berjalan sesuai aturan sehingga tidak ada hambatan lagi untuk ‘membabat hutan’ itu. Dengan demikian, “parapuar” bisa dibaca sebagai ‘sinyal’ bahwa pintu untuk berinvestasi di kawasan itu dan pintu untuk menghancurkan hutan sudah terbuka lebar.
Sangat menarik narasi yang dibangun oleh BPOLBF terkait pemanfaatan lahan 400 hektar itu. “Kawasan Parapuar seluas 400 hektar ini juga berpotensi dikembangkan menjadi salah satu kawasan produksi hortikultura berbasis agrowisata yang dikerjasamakan dengan 3 desa/kelurahan penyangga”, tulis Shana Fatina di akun Facebook pribadinya.
Lebih lanjut, Shana menulis: “Melihat dari titik tertinggi kawasan Perkotaan Labuan Bajo, Parapuar menghadirkan view 360 derajat, mulai dari bandara, pelabuhan peti kemas Wae Kelambu, perkotaan, perkantoran, hingga kawasan TN Komodo. Dengan desain produk unik dan pengalaman otentik, kawasan Parapuar diharapkan juga menjadi destinasi pilihan baru di Labuan Bajo yang juga menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong pemberdayaan komunitas lebih banyak lagi, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.
Kali ini, Shana Fatina tidak membentangkan secara utuh ‘masterplan’ pemanfaatan lahan 400 hektar di Bowosie itu. Beliau terlihat begitu percaya diri mendiseminasikan narasi yang terkesan sangat menjanjikan dan mendatangkan kebaikan untuk publik.
Pertama, kawasan ‘parapuar’ seluas 400 hektar berpotensi dikembangkan menjadi kawasan hortikultura berbasis agrowisata. Kita tahu bahwa hortikulture berasal dari bahasa Latin hortus yang berarti tanaman kebun dan cultura/colere yang berarti budidaya. Hortikultura, dengan demikian dapat diartikan sebagai budidaya tanaman kebun.
Kita tidak tahu pasti kira-kira berapa hektar yang dipakai sebagai kawasan perkebunan yang dikembangkan menjadi wisata pertanian (agrowisata) itu. Untuk ketahui bahwa privatisasi kawasan hutan ini melalui dua skema yaitu, pertama, perubahan kawasan hutan jadi bukan hutan alias area penggunaan lain (APL). APL ini seluas 136,28 hektar. Kedua, melalui skema usaha pemanfaatan jasa lingkungan alam (IUPSWA) dengan lahan 236,72 hektar. Pertanyaannya adalah apakah kawasan perkebunan itu masuk dalam APL atau IUPSWA?
Pihak BPOLBF juga sudah merilis jenis-jenis usaha bisnis pariwisata yang akan dibangun di lahan itu terbagi dalam empat distrik yaitu cultural district (114,73 hektar), leisure district (63,59 hektar), wildlife district (89,25 hektar), dan advencture district (132,43 hektar). Yang termasuk dalam cultural district antara lain cultural center + performance center, hotel+mice (168 keys), Bajo gallery, commercial village, family hotel resort (17 bungalow+ 96 kamar).
Sedangkan pembangunan leisure district terdiri dari high-end resort (29 bungalow +126 kamar), worship center + pilgrimage, dan forest walk. Wildlife district terdiri dari cliff restaurant, lumina forest, interpretation center, outdoor theater, mini zoo dan natural reserve galerry.Sedangkan adventure district terdiri dari high-end clamping (hotel glamour camping 25 keys), lookout point, cable car line length, elevated ciycling, luge ride, dan bike zipline.
Lalu, dari mana gagasan pengembangan tanaman hortikultura berbasis agrowisata seperti yang disinggung oleh Shana Fatima itu? Mengapa Shana dan BPOLBF tidak lagi menjadikan ‘masterplan’ itu untuk menjelaskan skema pemanfaatan kawasan Parapuar itu? Skenario apa lagi yang hendak dimainkan melalui narasi ‘lahan hortikultura berbasis agrowisata’ ini?
Kedua, kawasan produksi hortikulura itu dikerjasamakan dengan 3 Desa/Kelurahan penyangga. Sekali lagi, jika kita membaca ‘masterplan’ yang tertuang dalam Dokumen resmi BPOLBF terkait dengan skema pemanfaatan lahan 400 hektar Bowosie, tidak ditemukan penjelasan soal ‘kerja sama’ dengan 3 Desa/Kelurahan Penyangga itu. Dari mana ide ‘kerja sama’ ini muncul? Seperti apa bentuk keterlibatan 3 Desa/Kelurahan dalam kerja sama mengelola kawasan produksi hortikultura itu?
Ketiga, Parapuar menghadirkan view 360 derajat, mulai dari bandara, pelabuhan peti kemas Wae Kelambu, perkotaan, perkantoran, hingga kawasan TN Komodo. Apa itu view 360 derajat? Apakah penguasaan lahan 400 hektar itu ada kaitannya dengan ‘incaran’ untuk menjadikan titik itu sebagai ‘spot wisata’ baru? Siapa yang ‘mengelola’ spot wisata baru itu? Apakah demi memenuhi hasrat ‘mengelola view 360’ derajat, hutan harus dialihfungsi menjadi kawasan bukan hutan?
Keempat, Parapuar akan menjadi ‘destinasi wisata baru’. Apa signifikansi dan urgensi ‘menciptakan destinasi wisata baru’ di kawasan hutan itu? Apakah Labuan Bajo ini kekurangan ‘destinasi wisata favorit’? Mengapa BPOLBF tidak berkonsentrasi saja ‘menata secara kreatif’ spot-spot wisata kenamaan di Labuan Bajo? Mengapa ‘destinasi baru versi BPOLBF’ itu harus menelan ongkos ‘alih fungsi’ kawasan hutan?
Kelima, menciptakan lapangan pekerjaan. Ketika kaum kapitalis mendapat ‘ruang yang luas’ dalam mengelola kawasan itu, masihkah kita yakin bahwa ‘Parapuar’ akan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat kecil? Secara sepintas, narasi itu terasa menyejukkan. Tetapi, apakah sumber daya manusia lokal sudah dipersiapkan dengan baik untuk bisa berkompetisi dengan para pengusaha nasional dan bahkan internasional? Bukankah pihak BPLBF menetapkan standar dan persyaratan yang tinggi untuk bisa ‘menjadi pemain utama’ dalam kawasan itu?
Keenam, pemberdayaan komunitas dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seperti apa bentuk pemberdayaan tersebut? Komunitas mana yang dilibatkan dalam aktivitas pemberdayaan itu? Apakah pemberdayaan itu dibuat sebagai konsekuensi dari ‘pengelolaan Parapuar’ sebagai destinasi wisata baru? Apakah pemberdayaan itu dikemas dalam bentuk proyek seperti yang dibuat BPOLBF selama ini?
Enam narasi yang ‘dibangun’ Shana Fatina dalam postingan itu, sesungguhnya bukan ‘hal baru’. Justru argumentasi berupa ‘janji surgawi’ semacam itulah yang kerap dipakai untuk ‘meyakinkan’ publik soal urgensi eksistensi BPOLBF di Flores. Apakah semua cita-cita itu benar-benar dieksekusi atau minimal dijadikan panduan bagi lembaga itu dalam mengambil keputusan?
Sampai detik ini, publik belum merasakan ‘dampak besar’ dari kehadiran BPOLBF itu, terutama dalam mewujudkan ideal kesejahteraan publik itu. Alih-alih mempercepat kemajuan, justru BPOLBF dianggap sebagai pemicu munculnya aksi protes dan konflik. Agenda mengubah Hutan Bowosie seluas 400 hektar menjadi kawasan bukan hutan, dilihat sebagai satu bentuk penghancuran lingkungan. Padahal, kawasan Bowosie itu merupakan kawasan penyangga untuk kota Labuan Bajo dan area tangkapan air yang berguna bagi pemenuhan kebutuhan konsumsi dan pertanian.
Selain itu, klaim 400 hektar itu, celakanya tidak memperhatikan proses kepemilikan sebagian dari lahan itu oleh masyarakat adat. Akibatnya adalah muncul konflik agraria terkait ‘klaim kepemilikan’ atas sebagian lahan itu. Tidak heran pembukaan akses jalan menuju kawasan hutan, mendapat resistensi dari masyarakat pemilik lahan.
Fenomen yang terlihat di permukaan adalah BPOLBF lebih dominan berperan sebagai ‘pembuka pintu’ bagi pemilik modal untuk berinvestasi di kawasan hutan strategis itu. BPOLBF terlihat sangat berhasil menjalankan fungsinya sebagai ‘perantara’ para pebisnis raksasa. Nama ‘Patapuar’ sepertinya sangat selaras dengan spirit dan watak lembaga itu sebagai ‘penunjuk jalan’ untuk berbisnis di hutan sekaligus menghancurkan kawasan hutan itu.
Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.(sir Joni/Kordian)