
Meranti– Baru-baru ini beredar berita di media sosial, Polda Riau amankan pelaku perambah hutan tanpa izin di kampar, namun hal itu berbanding terbalik dengan kasus perambah kayu mangrove di kawasan hutan di bawah pengawasan negara tanpa izin di pinggir sungai Desa Batang Meranti, Kecamatan Pulau Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.
Dimana Muklis warga asal penyalai yang merupakan pengurus perusahaan “Siluman” asal Pekanbaru milik SANTO yang diduga jadi otak di balik aksi perambahan kayu mangrove di kawasan hutan di bawah pengawasan negara yang di kelola oleh Kelompok Mangrove Meranti Lestari tanpa izin dan membangun Batching Plant secara ilegal, Hingga saat ini masih bebas dan tidak tersentuh hukum, Sabtu 14 Desember 2024.
Meski Muklis terduga pelaku sudah mengakui bahwa ia yang memerintahkan operator alat berat (Excavator) melakukan perambahan kayu Mangrove didalam kawasan hutan milik negara yang di kelola oleh Kelompok Mangrove Meranti Lestari tanpa izin dan membangun Batching Plant secara ilegal.
Serta di lengkapi dengan barang bukti dan keterangan para saksi dalam proses penyelidikan oleh pihak kepolisian Polres Meranti pada bulan Mei 2024 lalu saat diminta keterangan mengatakan bahwa perusahaan “Siluman” yang di urus MUKLIS tersebut merambah dan menduduki kawasan hutan mangrove tanpa izin.

Dan dipertahankan Budiansyah selaku saksi dari UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan, Kabupaten Kepulauan Meranti, juga memberi keterangan bawa pihak perusahaan merambah hutan mangrove dan menguasainya tidak memiliki izin. dan hutan yang dirambah terletak di kawasan hutan yang sudah ada peruntukannya dan tidak boleh dirambah apalagi menduduki nya untuk usaha tanpa izin.
“Sesuai titik lokasi yang mereka rambah dan membangun Batching Plant itu berada dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang sudah dibebani persetujuan pengelolaan kepada Kelompok Mangrove Meranti Lestari sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.4083/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/6/2020 dan bukan untuk mendirikan Batching Plant,” kata Budi sebelumnya dikonfirmasi media ini.
Lanjutnya,”sesuai pada peta lampiran Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.759/MENLHK/SETJEN/PLA.0/7/2023 tanggal 11 Juli 2023 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Provinsi Riau,”
Meski dalam kasus tindak pidana ini sudah lengkap, bukti-bukti dan keterangan saksi serta pengakuan terduga pelaku. Anehnya pelaku selain tidak tersentuh hukum, pelaku juga malah berhasil menghilangkan barang bukti dua alat berat (Excavator) yang di gunakan merambah hutan mangrove di Meranti.
Itu terlihat jelas, dari pantauan media ini di lapangan, dua alat berat (Excavator) yang digunakan merambah hutan tidak berada di lokasi, di duga telah di hilangkan oleh pelaku. Dilokasi hanya terlihat kerusakan mangrove dan bangunan Batching Plant berwarna biru yang tegak di pinggir sungai tanpa di segel oleh petugas.
“Wajar kalau publik mempertanyakan, keberadaan Gakkum KLHK Dan Kapolri, Mengapa MUKLIS dari pihak perusahaan terduga pelaku tidak tersentuh hukum, apakah benar perusaahan tersebut dibekengi oknum penegak hukum,?,” kata Iskandar Kabid investigasi Perkumpulan Meranti Peduli Lingkungan (PMPL) Kabupaten Kepulauan Meranti.
Padahal dari keterangan para saksi serta buti-bukti dalam proses penyidikan sudah jelas menunjukkan bahwa perusahaan “Siluman” tersebut merambah dan menduduki kawasan hutan mangrove telah melawan hukum, dan tidak ada alasan bagi pihak penegak hukum untuk tidak menindak tegas dan menangkap pelaku perusakan hutan tersebut guna untuk menjadi pembelajaran bagi pihak-pihak lainnya.
Dan pelaku seharusnya pelaku dijerat Pasal 82 Ayat 1 huruf a dan/atau Pasal 83 Ayat 1 huruf a dan/atau Pasal 85 Ayat 1 dan/atau Pasal 94 ayat 1 huruf a Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan/atau Pasal 78 Ayat 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Juncto Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHPidana.
Selanjutnya sejak kasus ini mencuat di publik MUKLIS bungkam untuk memberi keterangan ketika di konfirmasi media ini, anehnya lagi pihak kepolisian Polres Meranti juga memilih bungkam soal kasus tersebut, hingga kelanjutan berita ini di terbitkan belum bisa memberi keterangan.
Reporter: Tommy
