NTT | Tahun 2022, untuk kota Labuan Bajo, boleh disebut sebagai’, tahun festival’. Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) menorehkan ‘prestasi fenomenal’ sebagai lembaga yang menyelenggarakan atau minimal mendukung pergelaran festival demi festival di kota ini.
Masih segar dalam memori kolektif publik Mabar soal pelaksanaan dua festival besar yang digelar sebelumnya. Pertama, Festival Golo Koe yang diinisiasi oleh Pihak Keuskupan Ruteng dan didukung sepenuhnya oleh BPOLB yang dihelat pada 8-15 Agustus. Kedua, Festival 1000 Suara Sasando yang difasilitasi oleh pihak Pemerintah Propinsi NTT pada 29 September. Marina Water Front menjadi panggung utama pelaksanaan dua festival itu.
Mungkin kedua festival terdahulu menghadirkan keuntungan yang besar bagi publik Mabar, maka BPOLBF merasa perlu untuk memfasilitasi Festival baru. Boleh jadi, festival di mata BPOLBF dianggap sebagai strategi untuk memanifestasikan idealisme akselerasi kemajuan pembangunan pariwisata di Mabar.
Festival yang baru itu diberi tajuk “Labuan Bajo Maritim Festival (LBMF)”. Rencananya, festival maritim itu akan digelar selama tiga hari, 21-23 Oktober. Lagi-lagi Marina Water Front menjadi tempat utama pelaksanaan Festival itu.
Uniknya, LBMF ini hanya sebagai semacam eksperimen dari ide yang dilontarkan Tim Bajoe Baroe ketika mengikuti kompetisi ide yang diselenggarakan BPOLBF melalui program Ideathon Event Floratama 2022 pada Juni lalu. Pada event itu, Tim Bajoe Baroe keluar sebagai pemenang pertama.
Sekadar untuk diketahui bahwa Ideathon Event Floratama merupakan program “kompetisi ide” yang dilaksanakan BPOLBF bertema “It’s Time For Labuan Bajo”. Tujuannya adalah menghidupkan sektor pariwisata dan menggali potensi lokal dalam menciptakan dan memodifikasi event berskala lokal maupun nasional.
Unsur yang dominan dalam sebuah ‘festival’ adalah pesta. Kita bersenang-senang, baik pada saat membawakan atraksi maupun ketika sedang menikmati suguhan acara dalam pesta itu. Secara etimologis, kata festival diadopsi dari bahasa Latin. Kata dasarnya adalah “festa” yang berarti “pesta”. Tetapi, umumnya kata itu mengacu ke aktivitas pesta besar atau acara meriah yang diadakan dalam rangka memperingati sesuatu. Festival juga bisa diartikan dengan hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting, bersejarah. Selain itu, festival itu identik dengan pesta rakyat.
Sebagai sebuah pesta, besar kemungkinan bahwa orientasi dari festival itu hanya untuk memuaskan kebutuhan akan ‘rasa nikmat’. Ketika tujuannya cuma sebatas mencapai kenikmatan, maka kita terperangkap dalam ideologi hedonisme. Sisi kenikmatan dan kesenangan sesaat dirayakan dengan antusias.
Saya kira, LBMF juga, dalam level tertentu, bisa dibaca sebagai ekspresi konkret dari spirit hedonisme itu. BPOLBF mengkreasi ruang dan peluang bagi publik untuk menyalurkan sikap hedonis. Namun, agar terkesan logis dan mendesak untuk dibuat, maka pelbagai narasi mulia dikedepankan. Aneka argumentasi suci itu, tentu saja menjadi basis rasional dalam menjustifikasi tindakan itu.
Penjelasan dari Direktur BPOLBF, Shana Fatina berikut, bisa menjadi contoh yang menarik untuk dibedah. Berkaitan dengan pelaksanaan LBMF, Shana mengatakan: “Festival ini merupakan elaborasi dari bentuk kontribusi komunitas lokal selama ini untuk menjaga alam maritim Labuan Bajo. Ke depan semua makin banyak lagi yang bisa ikut berkontribusi, tentunya dimulai dari masyarakat setempat yang begitu mencintai Labuan Bajo. Dengan mengampanyekan slogan Give Back For Good kami bersama komunitas Labuan Bajo mau mengajak semua orang baik masyarakat maupun pengunjung untuk memberi kembali semua kebaikan yang sudah diberikan alam kepada kita, dalam hal ini kebaikan dari alam maritim Labuan Bajo. Dengan begitu keseimbangan antara alam dan manusia tetap terjaga”.
Pertama, festival dilihat sebagai bentuk kontribusi komunitas lokal untuk menjaga alam maritim Labuan Bajo. Pernyataan ini, terdengar begitu mulia. Tetapi, pertanyaannya adalah apakah kontribusi itu bisa disalurkan dalam bentuk ‘pesta’? Bisakah sebuah ‘pesta’ dianggap sebagai ikut berkontribusi menjaga alam maritim itu? Saya tidak melihat ada relasi kausalitas antara ‘pesta’ dan menjaga alam maritim.
Kedua, ke depannya, semakin banyak yang ikut berkontribusi. Sebagai sebuah harapan, memang pernyataan itu harus dinyatakan secara terus-menerus. Namun, sekali lagi, seberapa efektif harapan itu ketika disuarakan dalam momen ‘pesta’? Dapatkah sebuah ‘panggung pesta’ dipakai sebagai medan berkampanye soal keterlibatan warga dalam menjaga alam maritim?
Ketiga, memberikan kembali semua kebaikan yang diberikan alam kepada kita (give back for food). Slogan ini, secara sekilas, pasti terkesan sangat mulia. Tetapi, sekali lagi pertanyaan kita adalah apakah ‘pesta’ merupakan kegiatan memberi kembali kebaikan dari alam? Apakah dalam kondisi mengejar kenikmatan dan kesenangan, kita masih bisa berpikir dan bertindak untuk memberi kembali semua yang diberikan alam kepada kita? Alih-alih memberi, justru pesta atau festival itu dilihat sebagai ekspresi ketidakpedulian pada alam. Mengapa?
Masalahnya adalah kita hanya memperhatikan unsur kenikmatan, kesenangan, dan kepuasan diri. Alam tetap menjadi obyek eksploitasi’ untuk memenuhi kebutuhan akan rasa nikmat itu. Rasanya, sebuah kontradiksi jika dikatakan bahwa festival merupakan tindakan memberi kembali semua kebaikan yang diberikan alam, sementara kita dalam kondisi ‘bersenang-senang’.
Jadi, penjelasan Shana itu, hanya indah pada tataran slogan tetapi bertolak belakang dengan eksekusi kebijakan yang diambil. Bagaimana mungkin narasi-narasi mulia di atas bisa diwujudkan melalui sebuah ‘pesta kelautan’. Ini sebuah penjelasan yang mengecoh atau lebih tepat memanipulasi kesadaran publik.
Apapun argumentasinya, satu yang pasti bahwa sebagai sebuah ‘pesta’, LBMF itu pasti menelan biaya yang tidak sedikit. Kita tidak tahu apakah LBMF itu menggunakan dana pribadi dari staf BPOLBF bersama komunitas pendukungnya atau memakai dana negara/publik.
Jika menggunakan uang publik, maka ini satu bentuk pemborosan atau penghamburan uang negara. Kita mengeluarkan anggaran yang besar untuk membiayai sebuah pesta yang hanya bertujuan mencari kenikmatan, hiburan, dan kesenangan. Saya tidak melihat ada semacam signifikansi positif dari festival maritim itu untuk perubahan kualitas pengelolaan kelautan kita.
Karena itu, apabila terbukti bahwa pelaksanaan LBMF itu menggunakan uang negara, maka kita ‘mendesak BPOLBF’ untuk melaporkan secara transparan penggunaan uang itu dan urgensi setra Gola yang mau dicapai dalam pesta itu. LBMF itu mesti membawa dampak yang nyata bagi perbaikan kondisi alam laut Labuan Bajo. Jika tidak, BPOLBF dianggap sebagai lembaga yang ‘menyalahgunakan’ uang negara dan karena itu pantas digeledah.
Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.