Hitamnya Hidup Pekerja Arang di Meranti

- Jurnalis

Rabu, 12 Oktober 2016 - 16:40 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Liputankepri.comSiang itu, panas mulai menyengat, cuacanya yang terik menyinari permukaan air Sungai Perumbi yang tenang dan tampak berkilau memantulkan cahaya terkena terpaan sinar matahari.

Empat buah panglong arang berjejer di bibir sungai itu tepatnya di Desa Gogok Darussalam, Kecamatan Tebingtinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau.

Lokasi yang jauh dari hingar bingar perkotaan ini terlihat seorang lelaki tua dan beberapa temannya yang tengah sibuk menyusun kayu jenis Bakau untuk dimasukkan ke dalam panglong dan dibakar.

Sesekali lelaki tua itu mengelap keringatnya yang mengucur dengan tangannya, ia terus menyusun satu demi satu bongkahan kayu bakau itu.

Keringat yang menetes tak menghalangi terkembangnya sebuah senyum di bibirnya saat bertemu degan rombongan kami. Dia langsung menyongsong kedatangan kami dengan ramah. Raut wajahnya sedikit lelah.

Kulitnya tampak coklat dibakar matahari, jidatnya berlipat-lipat seperti sobekan luka. Namun semangatnya menentang kekejaman dunia tidak pernah sirna.

Lelaki paruh baya dengan lima anak ini tetap bertahan hidup bekerja sebagai buruh Panglong Arang di Meranti.

Usia tua yang hampir setengah abad itu bukan halangan bagi bapak lima anak ini untuk tetap bertahan hidup bekerja sebagai buruh di panglong arang. Jari jemari tangannya terus cekatan memasukkan kayu di dalam tungku raksasa yang tingginya mencapai 5 meter dengan diameter 8 meter itu.

Tugasnya tidak hanya sampai disitu, dia harus menjaga kayu didalam pembakaran sampai masak menjadi arang, mulai dari cahaya matahari terbit hingga berganti sinar rembulan.

Bilan (58), begitu namanya dipanggil,ia merupakan salah satu warga suku Akit yang bekerja di panglong arang ini. Tugasnya menjaga api dapur arang yang harus terus menyala, hingga proses memasak kayu menjadi arang selesai. Empat panglong yang ia jaga bersama temannya memakan waktu tiga bulan untuk selesai dan bongkar muat sebelum diekspor. Untuk satu panglong, kayu yang diisi dan dimasak mencapai 20 ton.

“Api tidak boleh padam, jadi harus dijaga terus. Tidak peduli siang ataupun malam, karena jika api padam arang bisa masuk angin dan tidak bagus hasilnya. Saya baru bisa pulang ke rumah setelah dapur dibongkar, tiga bulan sekali,” ucapnya.

Tak banyak yang tahu proses pembuatan arang ini. Namun arang yang dipakai di berbagai negara di belahan dunia ini sudah melalui pengorbanan waktu yang sangat panjang.

Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau merupakan salah satu daerah penghasil arang terbaik di dunia. Untuk Kualitas arang nomor satu langsung diekspor ke Singapura, bahkan sampai ke Jepang, dan Arab Saudi.

Namun di balik itu semua praktik upah murah terhadap para pekerja terutama para buruh kasar terus berlangsung bagi pekerja panglong (dapur) arang, yang banyak didominasi oleh warga Suku Akit (orang asli).

Akibatnya, kondisi masyarakat tidak banyak berubah, kemiskinan terus mendera, sedangkan pengusaha terus mengaut pundi-pundi dolar dari hitamnya hidup pekerja arang.

Sebuah rumah di belakang panglong arang itu nyaris tak terlihat, separuh teras depannya yang tak terlalu luas ditutupi tumpukan kayu. Sejengkal tanah kosong di samping rumah juga disesaki tumpukan bongkahan arang hingga hampir mengubur rumah sederhana itu. Di dalam rumah milik tauke panglong itulah Bilan yang menghabiskan waktunya untuk berteduh sembari menjaga dapur arang mempersilakan kami bertamu.

Dia bercerita sepak terjal angkuhnya roda kehidupan ini sudah lama dilalui, ia bekerja sebagai buruh kasar di panglong arang itu selama 25 tahun. Sampingan kerja sebagai peternak pun dilakoninya untuk menyambung hidup.

Bekerja banting tulang seperti ini harus mampu ia lakukan sampai tengah malam agar proses memasak kayu bakau menjadi arang tetap dalam kondisi baik.

Bilan diberi upah kotor sebesar Rp30.000 perhari dan dipotong untuk makan jadi upah bersihnya sebesar Rp25.000 perhari. Setelah 2 minggu bekerja, barulah diberi upah dengan total Rp400.000 sehingga bisa pulang dan memberikan nafkah untuk anak dan istri.

“Kalau arangnya banyak bisa dapat sampai Rp500.000. Dengan kondisi seperti sekarang ini, tidak lah begitu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saya cuma tamat SD. Inilah kerja yang bisa saya lakukan untuk keluarga,” kata Bilan.

Setiap keluarga menginginkan untuk selalu bersama, beda halnya dengan keluarga Bilan. Siap tidak siap, keluarganya harus rela untuk ditinggalkan. Pekerjaannya yang menyita waktu menuntut dirinya untuk pergi dalam jangka waktu yang lama.

Sangatlah berat, berbulan-bulan harus meninggalkan keluarga tercinta. Keluarga Bilan tinggal di Suak Nipah, Teluk Belitung, Kecamatan Merbau, dengan rentang jarak yang jauh dan geografis alam yang berpulau memaksa dirinya harus melintasi sungai dan mengarungi selat jika ingin pulang.

“Untuk membantu keperluan sehari-hari, istri saya bekerja membuat atap dari daun rumbia dan mencari kerang dan lokan. Dari hasil itu separuhnya dijual dan separuhnya lagi buat dimakan. Terkadang kalau rindu, istri saya menyusul ke sini bersama anak- anak,” kata Bilan.

Dari upah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Bilan selalu berusaha untuk menyisihkan uang bagi pendidikan anak-anaknya. Tiga anaknya yang kini masih mengenyam pendidikan di SMP dan SD membutuhkan biaya yang cukup banyak. Sedangkan anaknya yang lain sudah membina keluarga sendiri dan merantau ke daerah lain.

“Saya hanya bisa terus berusaha dan berdoa, Keinginan saya tidak banyak, saya hanya ingin melihat anak-anak tetap sekolah dan saya tidak ingin anak saya seperti saya,” kata Bilan.

Di kabupaten termuda di Propinsi Riau ini sangat banyak usaha pembuatan arang. Terhitung jumlah panglong arang yang tersebar di empat pulau yakni Pulau Tebingtinggi, Pulau Rangsang, Pulau Padang dan Pulau Merbau ada 55 unit dengan 220 dapur. Masing-masing panglong menyerap tenaga kerja 4-5 orang per unit dan 10-20 orang buruh harian lepas. Dari seluruh panglong arang yang ada tergabung ke dalam sebuah koperasi yang bernama Kopsilva.

Setiap unit dipasok 8-10 orang pemasok bahan baku kayu bakau. Sehingga ada banyak sekali orang yang menggantungkan hidup dari panglong arang.

Salah seorang pemasok kayu bahan baku arang mampu mengumpulkan kayu 700 Kg hingga 1 Ton kayu mangrove. Untuk jenis Bakau yang menjadi bahan utama arang biasanya dihargai Rp 120 hingga Rp 150 perkilogramnya. Sedangkan jenis kayu Nyirih hanya Rp 100 perkilogram, jenis ini hanya dijadikan bahan bakar untuk dapur memasak arang.

“Harga belinya sangat murah tidak naik-naik, sedangkan kayu makin susah dicari dengan merambah hingga ke dalam hutan, tapi mau bagaimana lagi, saya tidak punya pilihan lain selain bekerja sebagai penebang bakau,” keluh salah seorang pemasok kayu, Ibrahim.

Ibrahim hanya satu dari ratusan bahkan mungkin ribuan masyarakat Kepulauan Meranti yang menggantungkan hidup pada mangrove dan arang. Dalam satu hari, baik penebang maupun pekerja lepas di industri arang hanya mampu mengantongi Rp 30 Ribu hingga Rp 70 Ribu saja.

Dari hasil penelusuran, para pekerja panglong arang lainnya, yang merupakan anak-anak putus sekolah juga merasakan hal yang sama. Entah karena memang merasa cukup, atau karena SDM yang kurang. Setiap pekerja dengan tugas lain yang berbeda, hanya diupah sebesar Rp13 Ribu perhari.

Kepala Bidang Tenaga Kerja pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Diskertrans) Kepulauan Meranti, Syarifudin Y Kai, yang pernah dikonfirmasi terkait permasahan upah murah ini, mengaku pihaknya telah sangat maksimal melakukan sosialisasi terkait UMK maupun turun langsung melihat kondisi para pekerja arang di wilayahnya.

“Kalau sosialiasi sangat gencar kita lakukan, tapi memang untuk pengawasan apalagi pemberian sanksi kita masih kekurangan tenaga. Saat ini kita baru memiliki satu tenaga pengawas yang telah bersetifikat,” katanya sambil berjanji akan mencarikan solusi dan membantu para pekerja yang masih belum mendapatkan hak sepenuhnya.

Masalah arang terbaik di beli dengan harga murah sudah menjadi cerita turun temurun sejak dahulu dengan melibatkan pekerja suku Akit. Kendala yang di hadapi panglong produksi arang adalah pemasaran dari hasil produksi, dimana hasil produksi arang Meranti di jual ke negara tetangga yakni Singapura. Artinya pengusaha panglong arang dari Meranti hanya sebatas membawa atau menjual produk ke Singapura, walau di ketahui tidak semata-mata hanya untuk kepentingan masyarakat Singapura, namun untuk kepentingan negara Singapura, arang kembali dijual atau diekspor lagi ke negara-negara Eropa, Amerika, dan juga Jepang serta negara lainnya.

Sementara itu, salah seorang pengelola panglong arang di Desa Kundur Kecamatan Tebingtinggi Barat, Apeng (37), mengaku sekali produksi dapat mencapai 50 hingga 60 Ton arang dari 3 buah dapur miliknya.

Untuk bahan baku kayu bakau maupun kayu pembakarnya, dipasok langsung oleh para penebang yang datang menjual ke panglong Apeng. Para penebang bakau, kata dia, merupakan masyarakat di desa sekitar panglong.

“Rata-rata satu hari mereka bawa 500 Kg sampai 1 Ton. Tapi kadang juga ada yang 200 Kg saja, kata mereka sekarang kayu sudah susah dicari,” ujarnya.

Dia mengaku puluhan ton arang hasil produksi panglong tersebut langsung diangkut ke Batam untuk dijual ke Singapura. Bahkan kemasannya sudah berlabelkan produk Singapura yang setiap empat puluh hari kapal dari negara berlambang singa tersebut langsung menjemput di pelabuhan panglong arang tersebut, tanpa harus melalui pelabuhan umum.

“Kualitas nomor satu untuk diekspor ke Singapura, bahkan katanya sampai dibawa ke Arab. Kalau berapa harga jual arangnya di sana, saya kurang tahu,” aku Apeng.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kepulauan Meranti, luasan hutan mangrove di kabupaten bungsu Riau itu mencapai 25.000 Hektar, yang mana 18.300 Hektarnya sudah didaftarkan sebagai Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

“Sebenarnya kita sudah mengajukan 25 ribu hektar itu untuk dimasukkan ke HTR. Namun yang disetujui pemerintah pusat hanya 8.300 Hektar saja,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Kepulauan Meranti, Mamun Murod.

Murod sendiri setuju jika kerusakan ekosistem yang terjadi terhadap hutan mangrove di Kepulauan Meranti tidak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat yang memanfaatkan kayu.

“Harga beli kayu oleh panglong sangat murah, ini tidak sebanding dengan dampak ekosistem yang ditimbulkan dari penebangan. Baik dampak abrasi maupun pengaruh lainnya,” kata Murod.

Untuk itu ada beberapa opsi yang diambil oleh Pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Meranti dalam menyikapi permasalahan tersebut. Di antaranya dengan mendaftarkan hutan mangrove menjadi HTR, sehingga pemanfaatan hasil hutan dapat dikontrol dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Dengan pengelolaan HTR berbasis masyarakat, kita dapat membuat regulasi yang jelas tentang pemanfaatan hasil hutan, baik perorangan maupun kelompok atau perusahaan,” sebut Murod.

Dalam hal industri produksi arang, nilai NPV adalah sebesar Rp3.600.850.000 dalam periode 20 tahun masa investasinya. Dengan nilai yang sangat positif ini maka industri arang sangat layak untuk dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti. Sementara nilai IRR adalah 114 persen dalam masa 20 tahun berbanding bunga bank 14 persen per tahun. Dengan hasil ini maka investasi pada industri arang sangat layak untuk diupayakan.

Panglong arang yang terdapat di wilayah Kepulauan Meranti. Target produksinya adalah ekspor. Nilai tukar dari ekspor arang adalah dolar Amerika Serikat. Makanya tak jarang jika banyak terdapat industri arang di wilayah Kepulauan Meranti.

Untuk mendukung industri arang ini, Pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Meranti telah menyampaikan kepada Menteri Kehutanan RI untuk membahas masalah tersebut. Karena, panglong arang di Kepulauan Meranti ini jumlahnya mencapai ratusan dan sektor usaha ini merupakan salah satu penyangga ekonomi masyarakat daerah.

“Memang sekarang ini banyak sekali sorotan tentang panglong-panglong arang yang sudah beroperasi puluhan tahun bahkan ratusan tahun di daerah Meranti, di mana banyak pihak yang mengeluhkan usaha tersebut telah merusak lingkungan. Padahal, kita sama-sama tahu mungkin itu sudah berlangsung ratusan tahun, tetapi tidak terjadi kerusakan hutan sebagaimana yang dikeluhkan, kata Bupati Kepulauan Meranti, Irwan Nasir.

Terlebih lagi, kata Bupati, di panglong-panglong arang itu banyak masyarakat kampung yang bekerja. “Coba bayangkan kalau panglong-panglong arang itu ditutup, maka akan berapa banyak pengangguran yang akan terjadi dan akan terjadi penurunan ekonomi di Meranti. Jadi untuk itu saya berusaha memperjuangkan bagaimana ini menjadi legal dan sudah dicoba bicarakan dengan Menteri Kehutanan sampai ini diberikan izin menjadi legal,” kata Bupati.

Pada akhirnya sangat disayangkan jika bakau-bakau yang dikorbankan pemerintah untuk menjaga periuk nasi masyarakatnya, malah dimanfaatkan oleh mafia arang yang terus memperbudak masyarakat suku akit sebagai pekerja.

 

 

 

Source: Halloriau

 

Follow WhatsApp Channel www.liputankepri.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Pazrul Amraini S.Pd Bacakan Teks Proklamasi Pada Upacara Hari Kemerdekaan RI Ke-80 Tahun Di Desa Mayang Sari
Suling Emas, Cara Polres Meranti dan Jajaran Makmurkan Masjid serta Jaga Kamtibmas
Polsek Sungai Apit Gelar Sosialisasi Bahaya Narkoba & Police Go To School, Tanamkan Semangat Green Policing di Kalangan Pelajar
Polres Karimun Gelar “Gerakan Pasar Murah” Untuk Membantu Masyarakat
Tandatangani MoU Satu Data Indonesia, Bupati Asmar: Data Akurat, Kebijakan Tepat!
Bupati Meranti Kukuhkan Bapak dan Ibu Asuh Anak Stunting serta Ayah Bunda Genre Tahun 2025
Polsek Meral Bakti Sosial Di Kelurahan Baran Barat
Bupati Kepulauan Meranti Terima Silaturahmi BKKBN dan BAZNAS Riau, Bahas Program Penanganan Stunting

Berita Terkait

Minggu, 17 Agustus 2025 - 12:47 WIB

Pazrul Amraini S.Pd Bacakan Teks Proklamasi Pada Upacara Hari Kemerdekaan RI Ke-80 Tahun Di Desa Mayang Sari

Minggu, 10 Agustus 2025 - 09:33 WIB

Suling Emas, Cara Polres Meranti dan Jajaran Makmurkan Masjid serta Jaga Kamtibmas

Jumat, 8 Agustus 2025 - 13:08 WIB

Polsek Sungai Apit Gelar Sosialisasi Bahaya Narkoba & Police Go To School, Tanamkan Semangat Green Policing di Kalangan Pelajar

Jumat, 8 Agustus 2025 - 10:59 WIB

Polres Karimun Gelar “Gerakan Pasar Murah” Untuk Membantu Masyarakat

Jumat, 8 Agustus 2025 - 10:11 WIB

Tandatangani MoU Satu Data Indonesia, Bupati Asmar: Data Akurat, Kebijakan Tepat!

Berita Terbaru

Bengkalis

Polres Bengkalis Berhasil Ungkap Kasus TPPO di Pelabuhan Roro

Kamis, 14 Agu 2025 - 21:00 WIB