Liputankepri.com,Jakarta – Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan pemblokiran beberapa situs jurnalistik yang menyebarkan hoax dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan tahap peringatan bagi media-media yang menjual produk jurnalistik lainnya. Khususnya media daring.
“Kalau itu dibiarkan, malah nanti terjadi kekacauan di masyarakat. Yang kita lakukan itu tahap warning. Mereka bisa ditindaklanjuti ke jalur hukum kalau sudah memenuhi syarat. Tapi (penindakan hukum) itu tergantung kepolisian,” ujar Samuel.
Hal tersebut disampaikan Samuel dalam diskusi mingguan di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat,seperti yang dilansir laman detik.com Sabtu (7/1/2017). Diskusi kali ini mengambil tema ‘Media Sosial, Hoax dan Kita’.
Samuel mengimbau masyarakat menjadikan tindak pemblokiran ini sebagai pelajaran bagi pengguna internet. Terutama operator situs, untuk memanfaatkan teknologi dengan bijaksana.
“Kita baru memasuki era penggunaan internet yang begitu masif. Masyarakat harus pandailah memanfaatkan teknologi. Tiap hari saya minta surat masukan untuk memblokir situs ini-itu,” kata dia.
Samuel menjelaskan kategori berita hoax dibagi menjadi dua. Yaitu berita bohong dengan latar belakang ekonomis untuk menjelekkan kompetitor dan berita bohong dengan latar belakang isu SARA.
“Kalau mengaku media dengan produk jurnalistik, turutilah kaidah-kaidah jurnalistik. Kalau tidak, ya buatlah website tanpa embel-embel jurnalistik,” tegas Samuel.
Seperti diketahui, Kemenkominfo memblokir ribuan situs yang mengandung muatan yang berpotensi meresahkan masyarakat. Salah satunya www.habibrizieq.com, yang merupakan situs milik Imam besar FPI, Habib Rizieq. Total ada sekitar 7.770 situs yang aksesnya ditutup Kemenkominfo.
Menkominfo Rudiantara mengatakan pemblokiran situs yang dianggap meresahkan masyarakat memang sudah lama dilakukan. Hal itu dilakukan sesuai dengan prosedur.
“Itu memang sudah lama memang ada pemblokiran. Karena secara UU dan peraturan itu memang dimungkinkan untuk dilakukan, istilahnya pemutusan akses, dalam revisi UU yang baru. Itu kan ada 7.770 ribu situs, yang seingat saya sekitar 7.770 yang dihapuskan,” kata Rudiantara, Kamis (1/12/2016).
“Jadi bukan hal yang baru. Itu macam-macam ada pornografi, ada radikalisme, ada SARA, macam-macam, dan pelaksanaannya tentunya berkoordinasi dengan aparat penegak hukum,” tambahnya.
Pemerintah sendiri juga berencana membentuk Badan Siber Nasional (Basinas) dalam waktu dekat. Menko Polhukam Wiranto menargetkan Basinas terbentuk dalam waktu satu bulan ini.
“Dari informasi, Indonesia termasuk paling besar sasarannya di dunia. Padahal hampir seluruh kehidupan masyarakat pakai internet. Kalau tidak bisa diproteksi, maka terjadi kekacauan,” kata Wiranto, Kamis (5/1/2017). (elz/ear)