Tanjungpinang – Potensi kerusakan lingkungan akibat pertambangam bauksit cukup besar. Buktinya, lingkungan di lokasi pertambangan bauksit di Desa Langkap dan Desa Pengambil, Singkep Barat, yang dikelola PT Telaga Bintan Jaya sejak tahun 2008 masih dalam kondisi rusak.
Perusahaan ini menguasai lahan seluas lebih dari 1.000 hektare itu sejak beberapa bulan lalu sudah mulai beraktivitas kembali, melakukan pertambangan bauksit di Singkep Barat.
“Kuota ekspor bauksit yang di miliki seberat 2,2 juta ton ke China. sangat fantastis, hanya saja kuota ekspor bauksit dari Kementerian Perdagangan pada Juli 2019 perlu di pertanyakan.
Kemudian Izin itu ditandatangani oleh Pelaksana Harian Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Karyanto Suprih. apakah penetapan kuota ekspor dapat diteken oleh pelaksana harian.
Ironisnya, PT Telaga Bintan Jaya (TBJ) sampai sekarang belum membangun “smelter” bauksit di Desa Langkap dan Desa Pengambil, Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, meski sudah beroperasi sejak tahun 2008.
Dengan demikian, disamping bahan mentah bauksit di jual ke China, wacana pembangunan “smelter” di kuatirkan hanya akal” akalan pengusaha saja seperti yang sudah terjadi di Bintan dan Karimun.
Sementara, UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan, perusahaan wajib membangun “smelter”. UU itu diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Logam.
Menyikapi hal ini, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Lembaga Informasi Data Investigasi Korupsi dan Kriminal Khusus Republik Indonesia (Lidik Krimsus RI) Ossie Gumanti mengatakan, seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan izin maupun kuota ekspor bauksit kepada PT Telaga Bintan Jaya, sebab perusahaan bouksit sebelumnya yang memiliki kuota tersebut tidak mampu menjaga kelestarian lingkungan.
“Perusahaan tambang yang sudah dapat IUP dan ekspor dari Kementerian ESDM ini justru tak mampu menjaga kelestarian lingkungan di sekitar areal pertambangan,” ujar Ossie ketika kepada media via selular saat berada di Jakarta, Senin (01/6/2020).
Kemudian, bahaya limbah bauksit yang paling nyata adalah tercemarnya lingkungan yang dapat berdampak bagi kehidupan manusia serta masyarakat di sekitarnya. Dari pencemaran lingkungan ini, masih banyak efek berantai yang ditimbulkan oleh bauksit.
Pengusaha bauksit di Kepri hanya mencari keuntungannya saja, namun tidak memperhatikan akibat dari kerusakan yang ditimbulkan sangat luas.
Bauksit dieksploitasi dengan begitu luas sekali tanpa pengawasan. Ini sangat membahayakan lingkungan, bahkan jika hal ini terus menerus dibiarkan maka akan berakibat pada generasi yang akan datang. Perizinan yang diberikan oleh pemerintah setempat juga seharusnya dipertanyakan.
Mengapa hal itu dapat terjadi, padahal masalah pertambangan itu harus mendapat izin dari pusat, bukan hanya sekadar mendapat izin dari pemerintah yang ada di daerah, jika ini terjadi sumber-sumber daya alam di daerah Kepri Lingga dikeruk untuk kepentingan sepihak.
Selama ini, kami tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah ekspor tambang bauksit yang telah dikeruk oleh pengusaha tambang dan diekspor ke luar negeri.
Dari jumlah tersebut kita juga tidak tahu apa keuntungannya bagi pemerintah. selain telah merusak tatanan lingkungan kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat nelayan, penambangan bauksit selama ini hanya menguntungkan dan memperkaya pihak-pihak tertentu saja.
Mereka hanya mengeruk hasil bumi di Kepri, sementara akibat ulah tambang itu tidak pula dilakukan reklamasi dan rehabilitas paska tambang.
“Kita berharap aparat penegak hukum Polda Kepri ini dapat bersikap tegas dan menangkap pelaku-pelaku pengrusakan lingkungan hidup serta mengawasi aktifitas tambang bauksit PT TBJ tersebut,” tegas Ossie ***
(red/ant)