“Lalu setelah dipress, maka dikeluarkan dari dongkar dan jadilah pil setan itu. Sama dengan Jun Hao, Deni, yang juga terpidana namun, sudah terlebih dulu meninggal karena sakit, juga bertugas mencetak pil ekstasi. Dari satu kilogram bahan baku dapat menghasilkan enam ribu butir.
Liputankepri.com,Tanjungpinang – A Yam dan Jun Hao, terpidana mati, pemilik pabrik ekstasi di sebuah rumah kontrakan di Jalan Baran III nomor 62, Kecamatan Meral, Kabupaten Karimun, yang terbesar di Asia Tenggara, dan digerebek aparat pada Desember tahun 2002 silam, menjalani sidang Peninjauan Kembali (PK), sebagai Pemohon di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang, Jumat (19/8).
Sidang PK kedua terpidana mati ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Afrizal didampingi dua hakim anggota Guntur Kurniawan dan Johnson Sirait. Sementara iu kedua pemohon didampingi Penasehat Hukumnya, Bernand Nainggolan. Sedangkan Jaksa yang dimintai pendapat adalah Kasipidum Kejari Tanjung Balai Karimun Bandry Almy.
Dalam permohonan PK tersebut, Bernard Nainggolan mengatakan pengajuan PK oleh kedua terpidana mati, A Yam dan Jun Hao, merupakan upaya mendapatkan kebenaran. Terpidana A Yam bersama Jun Hao alias Aheng dan Deni (Meninggal) tidak memproduksi pil ekstasi. Pembuktian unsur memproduksi majelis hakim Judex Facti hanya berdasarkan pengakuan terpidana sendiri tidak ada saksi lain yang melihat proses tersebut.
”Berdasarkan ketentuan pasal 189 ayat 4 disebutkan tentang kekuatan pembuktian dari suatu keterangan. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain,” ujar PH terpidana.
Dikatakannya, bukti yang disita dan ditetapkan sebagai barang bukti tidak semua mengandung zat adiktif psikotropika. Sebagaimana disebutkan dalam berita acara analisis laboraturium barang bukti psikotropika. No Lab 2695/KNF/XII/2002.
”Alat bukti yang dihadapkan didepan persidangan untuk membuktikan proses produksi hanya satu alat bukti yaitu hanya keterangan terdakwa,”katanya.
Pihaknya, lanjut Bernard, juga mempertanyakan barang bukti yang dalam persidangan sebelumnya disebut 6,3 kilogram apa benar terpidana yang menyimpannya.
”Sebelumnya disebut 6,3 kilogram. tetapi setelah dijumlahkan beratnya menjadi 8,3 kilogram. Itu barang bukti siapa. Mari kita gotong royong untuk mencari kebenaran materil di dalam persidangan ini. ?Kita semua mencari keadilan secara bersama-sama, jadi bukan persoalan kalah menang,”ucapnya.
Pihaknya ingin mengetahui bahwa persidangan tanpa pengacara sistem yang diterapkan dalam persidangan seperti apa. Hal itu membuat A Yam lemah dalam pembelaan. Terlebih lagi, A Yam juga tidak bisa berbahasa Indonesia?.
“Apa bener seorang terpidana mati saat disidangkan perkaranya tanpa didampingi pengacaranya. Selama tiga kali persidangan hingga vonis mati, A Yam tidak didampingi oleh pengacaranya. Hanya beberapa minggu saja divonis mati. Adapun disebut-sebut di perkara ada pengacaranya, namun kata A Yam tidak pernah didampingi. Dia tidak bisa berbahasa Indonesia dalam persidangan?. Selain itu juga tidak ada penerjemahanya. Ini harus dilihat kembali. Apakah layak dia dihukum mati,”ucapnya.
Sementara itu, Kasipidum Kejari Tanjung Balai Karimun, Bandry Almi, berpendapat, bahwa seluruh alasan atau pun novum yang diajukan PH terpidana A Ayam dan Jun Hao, didalam memori PK adalah tidak benar dan tidak dapat dijadikan sebagai novum atau keadaan baru yang dapat menimbulkan dugaan kuat bahwa keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung.
”Oleh karena itu kami mohon kiranya majelis hakim agung menolak permintaan PK dari kedua terpidana. Selain itu, menetapkan putusan PN Tanjungpinang pada (12/3) silam, tetap berlaku,”ujar Bandry.
Setelah mendengarkan PK dan tanggapan Jaksa. Majelis Hakim pun menunda persidangan hingga Kamis (1/9) mendatang dan menyatakan akan mendatangkan tiga saksi yakni PH yang mendampingi terpidana sebelumnya, orang yang mengatakan bahwa terdakwa A Yam hanya sebagai pemilik rumah, dan ahli hukum acara pidana.
Pantauan di PN Tanjungpinang, sidang PK terpidana mati ini mendapat penjagaan ketat dari sejumlah anggota Brimob Polda Jawa Tengah. Mereka berjaga di pintu ruang sidang dan sel tahanan PN Tanjungpinang dengan ma\embawa senjata laras panjang. Selain itu, kedua terpidana tersebut juga di diawasi petugas Lapas Batu Nusakambangan. Sejumlah keluarga pemohon, dari Batam dan Tanjungbalai Karimun, juga terlihat hadir di PN Tanjungpinang untuk menyaksikan proses persidangan.
Seperti diketahui, A Yam dan Jun Hao dijatuhi vonis mati karena membangun pabrik ekstasi terbesar di Asia Tenggara pada 2002 silam. A Yam mulai membangun pabrik ekstasi di sebuah rumah kontrakan di Jalan Baran III No 62, Kecamatan Meral, Kabupaten Karimun, pada April 2002 bekerjasama dengan Jun Hao.
Untuk bahan baku ekstasi, Juan membelinya dari Rudi (DPO) di Jakarta Utara. Pabrik itu juga mempekerjakan seorang karyawan, Denny. Mereka bertiga lalu bahu membahu membuat ekstasi dengan hasil 500 butir per hari. Hingga digerebek aparat pada Desember 2002, mereka sudah mencetak 15 ribu butir ekstasi.
Mereka bertiga pun berbagi tugas, A Yam betugas melakukan pengadukan bahan serbuk untuk menentukan kualitas campuran zat kimia ekstasi. Sedangkan Jun Hao, bertugas menimbang, mengukur dosis bahan baku serbuk yang digunakan untuk membuat ekstasi. Memasukan bahan baku serbuk ke dalam alat yang terbuat dari besi berlobang ukuran pil dan setelah penuh, sebuk di dalam obang itu ditutup dengan pin dan bergambar sesuai yang dikehendaki menjadi merek.
Lalu setelah dipress, maka dikeluarkan dari dongkar dan jadilah pil setan itu. Sama dengan Jun Hao, Deni, yang juga terpidana namun, sudah terlebih dulu meninggal karena sakit, juga bertugas mencetak pil ekstasi. Dari satu kilogram bahan baku dapat menghasilkan enam ribu butir.
Setelah jadi pil setan tersebut, mereka merekrut Yunianto, untuk dijadikan distributor daerah Kabupaten Karimun. Kemudian Hendrik (DPO), distributor di daerah Batam