Yang Dashyat bukan ILC TV One atau Rocky Gerung-nya. Yang dasyat adalah terbongkarnya intrik-intrik di koalisi yang katanya koalisi tenang-tenang tapi faktanya hancur-hancuran di dalam.
Tadi malam (14 Agustus 2018) tentu jutaan orang menonton acara ILC di TV One. Dan seharian ini semua orang yang melek internet membaca berita-berita di lini masa tentang terbongkarnya intrik-intrik yang berbuntut “ditendangnya” Mahfud MD dari Pencawapresan Pilpres 2019 dan berlabuhnya Ulama Sepuh (yang ditolak banyak pendukung Jokowi) sebagai Cawapres Jokowi.
PUBLIK PUN AKHIRNYA MEMPERTANYAKAN MORALITAS SEORANG JOKOWI
Boleh saja Koalisi Jokowi membela diri dan mencoba mengatakan bahwa sebenarnya tidak hanya Mahfud MD saja yang dijanjikan jadi Cawapres alias di-PHP-in Jokowi. Jadi janganlah masalah ini dibesar-besarkan.
Saya bilang sih Pembelaan seperti itu hanya percuma dan sia-sia. Selain alasan itu memang tidak ada faktanya bahwa ada orang lain selain Mahfud yang jadi “korban”, Masalahnya bukan pada berapa orang yang sudah di-PHP-in Jokowi. Masalahnya bukan siapa yang beruntung atau tidak beruntung bisa menjadi Cawapres.
Masalahnya ada pada bagaimana mungkin terjadi, seorang Presiden bisa mem-PHP-in seorang tokoh besar. “Ngadalin orang” lah kalau kata Kid Zaman Now.
Ini dalam banget masalahnya. Saya agak berbeda dengan Rocky Gerung dalam menyikapinya.
Ada 3 hal krusial yang terjadi setelah pengakuan blak-blakan Mahfud MD di ILC semalam. Kurang lebih seperti ini masalah-masalahnya:
Yang pertama, Jokowi terbukti telah mem-PHP-in Prof. Mahfud MD. Kalau ini dibandingkan sebuah kasus criminal yang ditangani polisi, biasanya polisi berpikir mungkin ada korban-korban lain sebelumnya. Begitu juga public bisa jadi berpikir sama. Jangan-jangan pernah ada beberapa orang yang di-PHP in Jokowi juga.
Begitulah sebuah Trust. Sebuah Kepercayaan. Bagaimana public pasti akan menanyakan hal-hal seperti itu karena menyangkut kepercayaan public pada moralitas pemimpinnya. Amat sangat memprihatinkan kalau Presiden yang kita banggakan ternyata punya sifat mem-PHP in orang lain. Mudah-mudahan tidak seperti itu, mudah-mudahan ini hanya kecelakaan politik.
Yang Kedua, Jokowi memperlihatkan Ketidak-konsistennya dalam melakukan sebuah pilihan strategis. Plin-plan. Itu ungkapan yang paling dihindari siapapun yang menjadi seorang Pemimpin. Tidak ada toleransinya bila seorang Pemimpin memiliki sifat Plin-plan. Kasus Mahfud MD ini sudah membuktikan Jokowi menunjukkan Ke-plin-plannya.
Yang ketiga. Inilah yang paling menyesakkan dada rakyat Indonesia. Bagaimana mungkin seorang Presiden bisa ditekan sedemikian rupa oleh Partai Pendukung dan sebuah Ormas Keagamaan?
Pada saat seorang Presiden sudah membuat suatu pilihan menyangkut rencana besarnya untuk membangun bangsa ini dengan memilih seorang Wakil Presiden, tentu ini sebuah cita-cita yang luhur.
Tiba-tiba hanya karena ada tekanan politik dari satu partai dan satu organisasi Keagamaan, Presiden kita akhirnya dengan begitu mudahnya menyerah terhadap tekanan tersebut dan merubah pilihannya.
Kita semua tahu bahwa pada H-1 Pengumuman Cawapres Jokowi ada gerakan besar yang dilakukan Muhaimin Iskandar dan beberapa Elite NU seperti KH Ma’ruf Amin, Said Aqil Siraj dan lainnya. Ada keluar pernyataan bahwa bila Cawapres Jokowi bukan berasal dari NU maka Pihak NU tidak akan mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019.
Dan ternyata ancaman membatalkan dukungan itu membuat Jokowi kelimpungan. Jokowi begitu ketakutan. Takut akan kalah di Pilpres 2019 bila tidak didukung oleh massa NU. Takut mengalami hal yang sama dengan Ahok yang katanya kalah karena dimusuhi umat Islam.
Ketika seorang Presiden karena takut Kalah di Pilpres berikutnya lalu bisa ditekan oleh pihak tertentu dengan ancaman tidak akan mendukung maka disitulah keluar konteks Jokowi memang berambisi mempertahankan kekuasaannya. Disitulah Moralitas seorang presiden dipertanyakan.
Bila seorang Presiden berprestasi dan disukai rakyatnya sehingga dia dipilih untuk kedua kalinya tentu itu hal yang wajar. Tetapi bila seorang Presiden setelah berkuasa 4 tahun ternyata tidak memuaskan rakyatnya tetapi Presiden itu menghalalkan segala cara untuk menang, tentu bisa dikatakan moralitas dari presiden itu dapat dipertanyakan. Presidan harus punya jiwa kenegaraan dan dilarang untuk haus kekuasaan.***
Penulis: Revaputra Sugito