Liputankepri.com – Kita juga sering melihat banyak orang Islam yang tidak mengikuti aturan-aturan Allah, tidak berpuasa misalnya. Mereka sering menganggap bahwa dengan puasa dirinya sedang diperas, dihambat dan diperdaya. Mereka tidak paham bahwa dengan puasa justru kita dibersihkan dan disehatkan dari berbagai penyakit lahir maupun batin. Dengan puasa kita dilatih jujur dan disiplin serta dilatih untuk peka terhadap sesama saudara kita yang mustadhafin (dhuafa).
Dalam literatur tasawuf, terutama al-Ghazali dan al-Qusyairi menyarankan berpuasa dalam tataran hakikat. Akan tetapi, tahapan hakikat ini tidak bisa begitu saja diraih, tapi harus bertahap dari fase syariat, tarekat, dan hakikat. Pada fase syariat ini seorang muslim harus paham dalil-dalil syari` dan hukum batal dan sahnya puasa. Kemudian, ia diharuskan untuk meningkatkan ke tingkat selanjutnya, yaitu tarekat.
Selain puasa secara lahiriah (syariat) juga harus mempuasakan aspek batinnya. Seperti puasa mencela, memaki, bohong, bertengkar, atau tidak berimajinasi maupun berpikir tentang yang porno dan hal-hal nista atau yang dapat membuat rusaknya nilai puasa, serta tidak meninggalkan ibadah-ibadah wajib dan sunah yang rutin dikerjakan. Jadi, pada fase tarekat, seorang muslim dituntut untuk lebih kreatif dan produktif dengan meningkatkan amalan-amalan lainnya. Apabila seorang muslim tetap istiqamah dalam kedua fase tersebut maka ia sedang menuju tangga hakikat. Karena itu, seseorang yang sedang menuju fase hakikat harus mampu merasakan dengan kesadaran penuh bahwa dengan puasa ia sebenarnya sedang berhubungan dengan Allah SWT.
Sehingga apa pun yang dikerjakan dan dilakukan, baik ketika berpuasa maupun saat di luar ibadah puasa, senantiasa merasa dijaga dan diawasi Allah. Inilah yang dimaksud berada dalam tataran hakikat. Pendeknya, puasa secara syariat adalah khidmatullah. Secara tarekat adalah qurbatullah. Secara hakikat ialah penggabungan diri dengan Allah (wushlatullah). Mereka yang bisa bergabung dengan Allah adalah mereka yang suci dan kembali pada fitrah Ilahi. Orang yang termasuk kategori tersebut layak disebut muttaqin (orang bertaqwa). Bukankah tujuan puasa Ramadhan agar manusia menjadi bertaqwa?
Karena itu, puasa Ramadhan bukan hanya menjalankan syariat, tetapi juga untuk mengembalikan kita pada fitrah kesucian. Bagi mereka yang mensucikan diri (tazkiyatun nafs) adalah yang pantas untuk sampai pada Idul Fitri. Menjalankan aturan Allah dengan penuh keikhlasan akan meninggikan kita menuju menjadi manusia yang sempurna. Yakni manusia yang tidak lagi bergantung kepada sesuatu yang lain-baik itu materi maupun jabatan sosial-karena segala keperluaannya telah dipenuhi dan dijamin Allah Yang Maha Sempurna.
Allah SWT berfirman, “Dia telah memberikan kepadamu segala keperluan dari apa-apa yang kamu mohonkan. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah maka tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan ingkar.” (QS Ibrahim [14]: 34) (Ahmad Sahidin, editor Penebit Salamadani Bandung dan penulis buku)
Follow WhatsApp Channel www.liputankepri.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow