Tantangan Berat Peran Mahasiswa dan Kampus dalam Kerakyatan di Tahun 2017

- Jurnalis

Sabtu, 7 Januari 2017 - 14:49 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Widya Fattah Almis

Komite Pendidikan dan Kebudayaan PRESIDIUM GMNI 2015-2017


Liputankepri.com,Karimun —Dalam Hitungan detik, tahun 2016 berlalu dan kita menyongsong tahun 2017. Harapan dan optimisme perlu dikembangkan lagi pada mahasiswa Indonesia dalam memperjuangkan rakyat.

Berdasarkan data yang kami peroleh dari Kemenristek Dikti ada sekitar 4,9 juta atau sekitar 1,9 persen dari penduduk keseluruhan yang tersebar pada 4534 kampus di Indonesia. Tentunya hal tersebut menjadi sebuah tantangan yang besar bagaimana mahasiswa dan Perguruan Tinggi dalam membela kepentingan rakyat Indonesia. Oleh karena itu kami sebagai Gerakan Mahasiswa akan melihat kedepan tentang peranan mahasiswa  dan kampus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pastinya tidak mudah  untuk memprediksi  hal-hal yang bakal terjadi setahun ke depan tentang peranan mahasiswa dan kampus dalam kerakyatan. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)  mencoba mengartikulasikan pandangan setahun ke depan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan gerakan mahasiswa sebagai kaum intelektual dalam memperjuangkan rakyat yang akan dijalankan pada 2017. Hal tersebut berdasarkan hasil diskusi reflektif atas fenomena yang terjadi pada tahun-tahun lalu. Berbagai pandangan ke depan (outlook) ini menyentuh aspek-aspek penting dalam bidang pendidikan tinggi dan kemahasiswaan.

Presidium GMNI melihat bahwa banyak tantangan yang akan dilalui mahasiswa dan kampus dalam mewujudkan cita-cita perjuangan Indonesia yang berdasarkan UUD 45 dan Pancasila di tahun 2017. Kami Organiasasi Gerakan Mahasiswa membuat “Outlook Mahasiswa Dan Kampus 2017” ini berdasarkan keperihatinan dan auto kritik bagi kami sebagai mahasiswa terhadap kondisi kampus dan mahasiswa sebagai basis gerakan intelektual  yang makin lama makin jauh dari cita-citanya.

Mahasiswa dalam tantangan Bonus Demografi.

Tiga tahun lagi Indonesia akan memasuki era bonus demografi. Jumlah usia produktif (16-65 tahun) akan mencapai 180 juta jiwa. Jumlah ini akan menopang 70 persen populasi di Indonesia. Telah banyak Negara-negara yang lebih dahulu mengalami bonus demografi dan sukses untuk memaksimalkannya untuk mewujudkan cita-cita negaranya, seperti China, Thailand dan Korea Selatan misalnya.

Jika dilihat secara umur mahasiswa termasuk didalam bagian bonus demografi. Penuntasan permasalahan ekonomi, kesehatan dan pendidikan sangat membutuhkan peran serta mahasiswa. Selama ini, mahasiswa dianggap menjadi tumpuan bagi rakyat Indonesia untuk ikut serta mewujudkan kemajuan peradaban manusia dan keadilan sosial  yang tercantum pada pancasila dan pembukaan UUD 45.

Akan tetapi, lemahnya tingkat partisipasi rakyat tergambar jelas data angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi masih relatif rendah 27-30 persen. Tentunya ini belum dilihat dari segi distribusi Pendidikan Tinggi yang tersebar diseluruh Indonesia. Mungkin masih banyak permasalah terkait distribusi partisipasi perguruan tinggi terletak pada daerah-daerah tertinggal yang perlu diperhatikan. Dari hal tersebut menunjukan bahwa Negara Indonesia belum mampu menjamin penndidikan  bagi rakyatnya khususunya pada Perguruan Tinggi.

Disisi lain, tantangan bonus demografi ini terhadap usia produktif khususnya mahasiswa datang dari masuknya mahasiswa dalam pendidikan tinggi yang tentunya tidak sesuai dengan minat dan bakat dari mahasiswa itu sendiri. Dari hal tersebut diprediksi akan mengurangi kreatifitas dan daya saya saing sumberdaya manusia terhadap tantangan bangsa kedepan mewujudkan cita-citanya di era globalisasi ini. Sehingga mahasiswa yang telah lulus tidak dapat mengaplikasikan apa yang didapatnya dikampus pada rakyat Indonesia.

Terlebih  ada kesalahpahaman pandangan mahasiswa yang mengambil kuliah hanya untuk mencari kerja seadanya. Dan tentunya hal tersebut didukung oleh system pendidikan yang berada dikampus dengan kurikulumnya. Kurikulum disusun oleh kampus diciptakan untuk lulusan harus bisa menyesuaikan diri dengan lapangan pekerjaan. Persoalannya, pendidikan semacam ini hanya menghasilkan lulusan-lulusan ala robot siap kerja. Yang patut mendapat perhatian adalah lapangan pekerjaan di sini diartikan sebagai kerja teknis dan bukan kerja intelektual maupun filosofis.

Pengangguran merupakan ancaman yang nyata bagi bonus demografi jika tidak dapat ditangai dengan serius oleh pemerintah Indonesia, apabila tidak segera berbenah diri dalam meningkatkan kualitas SDM nya. Bagaimanapun, kualitas manusia, yang didongkrak oleh faktor pendidikan merupakan nilai lebih bagi rakyat Indonesia pada era persaingan yang makin ketat di tahun 2017 mendatang. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia harus serius menyiapkan akses dan membenah system pendidikan terhadap rakyat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar nantinya tidak mendapatkan permasalahan pada bonus demografi.

Krisis Identitas Mahasiswa Dalam Berbangsa Dan Bernegara.

Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang system pendidikan nasional No.20 tahun 2003 tentang tujuan pendidikan nasional adalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Terlebih Mahasiswa tentunya harus menjadi pelopor dalam membangun dan merawat persatuan Indonesia dalam kebhinekaaan.

Akan tetapi, hal diatas mendapatkan tantangan besar bagi mahasiswa dalam mewujudkannya.Hal tersebut dikarenakan lunturnya identitas mahasiwa akibat masuknya budaya hedonism dan konsumerisme yang terjadi pada mahasiswa hari ini. Budaya hedonism mendorong mahasiswa Indonesia terperosok kedalam jurang penyalahgunaan narkoba yang diinginkan Negara lain untuk menghancurkan anak bangsa.  Budaya tersebut mengakibatkan mahasiswa tidak peduli atau kehilangan empati pada lingkungan disekitarnya terlebih terhadap rakyat Indonesia.

Sabagai bukti riil, hari ini kita bisa melihat bahwa kampus-kampus yang dulunya tempat diskusi dan wadah gerakan kemahasiswaan kini sudah tidak dijumpai lagi, dan juga hari ini mahasiswa lebih senang membicarakan tentang fashion, selebritis, lifestyle dan berkutat hal hedonis lainnya daripada membicarakan persoalan kebangsaan.

Selain itu, kampus sebagai “kawah candradimuka” juga memiliki banyak tantangan bahkan masalah yang dihadapi, dari situasi politik nasional, ekonomi, budaya, sosial, agama hingga problematik individu. Salah satu problem terkini yang menjadi ancaman serius kelompok mahasiswa adalah bahaya laten radikalisme atau fundamentalisme. Dari masa ke masa di lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal.

Penyusupan paham radikalisme juga sangat mudah dan rentan masuk di tengah-tengah kehidupan kampus, kerentanan tersebut tidak hanya dilihat dari sudut psiko-sosial semata, tetapi dalam aspek intrumen atau media penyebaran paham kebencian dan kekerasan telah didesain dengan pola dan gaya kehidupan kampus. Beberapa cara yang mereka lakukan seperti melalui buku, majalah, buletin dan yang paling masif dan efektif melalui jejaring internet maupun media sosial

Meningkatnya paham radikalsime dan budaya hedonisme dilingkungan kampus tidak terlepas dari lemahnya sistem Pendidikan Nasional. Tentunya hal tersebut menunjukan kampus belum menjadi tempat dalam membina nation and character building. Oleh karena itu kami presidium GMNI mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi dan tindakan nyata untuk menangani hal-hal diatas. Salah satu caranya dengan memasukan kembali kurikulum tentang Pancasila supaya mahasiswa Indonesia paham dan sadar akan sejarah dan cita-cita bangsannya. Agar kelak kedepan mahasiswa ketika terjun pada kehidupan rakyat dapat memanifestasikan ajaran tersebut dengan tindakan yang nyata.

Melemahnya hubungan mahasiswa,kampus dan rakyat.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 20 Ayat 2). Tri dharma perguruan tinggi sebagai salah satu pondasi dan dasar tanggung jawab yang dipanggul mahasiswa sebagai bagian dari perguruan tinggi yang harus dikembangkan secara simultan dan bersama-sama, serta harus disadari betul oleh mahasiswa agar tercipta yang sadar akan pendidikan, pengajaran dan pengabdian. Dengan demikian perguruan tinggi Indonesia tidak hanya ditugasi mencetak manusia yang berilmu pengetahuan tetapi juga harus melakukan penelitian demi perkembangan ilmu itu sendiri. Kedua hal tersebut harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat

Hal senada dikatakan oleh, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam pendidikan yang ditegaskan Ki Hajar, kemerdekaan bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), serta dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking). Pesan Bapak Pendidikan Nasional ini sebenarnya sangat  sederhana, karena ketika masyarakat mampu berpikir mandiri serta mendidik dirinya sendiri, bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat dan lepas dari belenggu penindasan bangsa lain

Sayangnya, pendidikan tinggi terutama kampus selama ini justru membuat manusia Indonesia terbelenggu. Pendidikan telah membangun tembok yang terlalu tinggi dan menjadi menara gading yang angkuh terhadap kondisi di sekitarnya. Sistem pendidikan di Indonesia saat ini pun sudah sangat liberal. Pendidikan hanya dijadikan sebagai komoditas.

Kampus Sebagai Institusi pendidikan yang kemudian menganut sistem ekonomi pasar di mana setiap keputusan yang dilakukan para pimpinan perguruan tinggi didasarkan pada mekanisme pasar. Satu per satu fasilitas yang ada di kampus kemudian diberi harga, ditawarkan kepada calon konsumen. Siapa yang memiliki uang, boleh mengakses berbagai fasilitas, sementara yang tidak punya uang dipinggirkan pelan-pelan.

Tentunya liberalisasi Kampus memberikan berberapa pergeseran paradigma. Pergeseran paradigma tersebut yaitu; Pertama, penyelenggaraan perguruan tinggi yang semula menaruh perhatian pada pertanyaan reflektif, eksploratif dan humanis kini berubah menjadi utilitarian. Kedua, perguruan tinggi kemudian kehilangan tanggung jawab atas perkembangan dan perubahan masyarakat menyangkut aspek, sosial, politik dan peradaban manusia. Fokus yang diambil saat ini hanya sebatas pada graduate employability atau keterserapan lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja. Berbagai program penelitian yang seharusnya memiliki manfaat bagi masyarakat sekitar justru terkadang digunakan untuk mencari keuntungan semata. Karena otonomi direduksi hanya pada persoalan pendanaan dan dilegitimasi oleh berbagai kebijakan pemerintah, tak mengherankan jika kampus hanya memusatkan perhatian untuk mencari dana.

Disisi Lain, Kampus pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa rasionalitas otonomi kampus yang berkembang pada dasarnya menghasilkan irasionalitas. Irasionalitas ini bekerja menggunakan logika perusahaan industri dengan empat prinsip yaitu; Pertama, prinsip kuantifikasi bisa dilihat dari orientasi pendidikan tinggi yang kini hanya memusatkan perhatian pada kuantitas hasil. Kedua, prinsip efisiensi dilakukan oleh perguruan tinggi. Efisiensi ini dilakukan dalam dua hal yaitu mengenai produk lulusannya dan produk hasil penelitian. Ketiga, prinsip keterprediksian dikaitkan dalam logika link and match antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Keempat, prinsip teknologisasi menjelma melalui kebijakan pendidikan. Pendidikan saat ini harus menggunakan perkembangan teknologi terbaru atau hi-tech.

Selain itu lemahnya mahasiswa untuk berfikir kiritis dalam melihat kondisi kampus yang berkaitan terhadap rakyat merupakan salah satu penyebabnya. Mahasiswa hanya dituntut untuk berkuliah dan mendapatkan nilai bagus untuk memperoleh gelar sarjanannya. Ini tentunya tak lepas dari peran liberalisasi pendidikan diatas yang telah dijelaskan.

Foucault dalam tulisannya “arkeologi pengetahuan” membahas bagaimana orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Foucoult melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang menjadi subjek dan kemudian memerintahkan subjek dengan pengetahuan. Akan tetapi hal tersebut tejadi sebuah diskontinuitas dalam produksi pengetahuan akibat perkembangannya. Dapat dilihat disini kampus sebagai ruang produksi intelektual telah jauh tujuan awalnya untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 45 akibat komersialisasi pendidikan .

Sudah saatnya mengembalikan pemikiran soekarno tentang “ilmu dan amal” pada penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 19 September 1951 yang menyatakan bahwa  ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidup manusia, atau prakteknya bangsa, atau praktek hidupnya dunia kemanusiaan. Soekarno menyatakan bahwa selalu menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan, dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. Ilmu dan amal, kennis dan daad, harus ‘wahyu-mewahyui’ satu sama lain.

Lingkungan kampus  bukan merupakan masyarakat sesungguhnya (real society), tetapi merupakan masyarakat semu (virtual society) yang merupakan miniatur atas kondisi berbangsa dan bernegara saat ini. Mahasiwa berperan  pada lingkungan kampus sebagai ajang simulasi untuk bekal saat terlibat dan terjun langsung ke masyarakat.

Bagi Presidium GMNI sudah saatnya di tahun 2017 mahasiswa dan kampus bergerak terhadap situasi dan kondisi rakyat secara nyata. Mahasiswa hari ini harus menyadari bahwa kemiskinan dan kekerasan terhadap rakyat itu terjadi pada lingkungan perguruan tinggi. Terlebih tentang kondisi mahasiswa itu sendiri yang nantinya akan menjadi tenaga kerja pada fase selanjutnya. Tentunya Peran Mahasiswa hari ini juga dituntut agar tidak gagap dalam mengenali situasi dan kondisi yang terjadi. Hal tersebut dilakukan untuk terus memproduksi dan melegitimasi pengetahuan dan tindakannya untuk membebaskan rakyat.(widya)

Sumber : Sitetengku.com

Follow WhatsApp Channel www.liputankepri.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Bhabinkamtibmas Polsek Balai Karimun Sosialisasikan Larangan Membakar Lahan Dan Hutan
Polsek Kuba Dan Bhayangkari Berbagi Takjil Untuk Warga Kundur Utara Dan Barat
Sat Res Narkoba Polres Karimun Ungkap 13 Kasus Narkoba dalam Dua Bulan, 19 Tersangka Telah Diamankan
Polsek Balai Karimun Pastikan Stok Sembako Aman Jelang Ramadhan 1446 H
Wakil Bupati Karimun Rocky Marciono Pimpin Apel Perdana
Oknum Wartawan Ditangkap Polisi, Begini Respon IWO Karimun
Oknum Wartawan Di OTT Polisi, Peras Hingga Puluhan Juta
Program Pemali Boarding School PT Timah Bantu Tingkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia

Berita Terkait

Selasa, 18 Maret 2025 - 00:28 WIB

Bhabinkamtibmas Polsek Balai Karimun Sosialisasikan Larangan Membakar Lahan Dan Hutan

Minggu, 16 Maret 2025 - 03:31 WIB

Polsek Kuba Dan Bhayangkari Berbagi Takjil Untuk Warga Kundur Utara Dan Barat

Senin, 3 Maret 2025 - 07:25 WIB

Sat Res Narkoba Polres Karimun Ungkap 13 Kasus Narkoba dalam Dua Bulan, 19 Tersangka Telah Diamankan

Minggu, 2 Maret 2025 - 03:29 WIB

Polsek Balai Karimun Pastikan Stok Sembako Aman Jelang Ramadhan 1446 H

Selasa, 25 Februari 2025 - 04:08 WIB

Wakil Bupati Karimun Rocky Marciono Pimpin Apel Perdana

Berita Terbaru

Bangkinang

Bupati Kampar Pimpin Langsung Rapat Pra Musrenbang RKPD 2026

Rabu, 19 Mar 2025 - 00:37 WIB